Selasa, 15 Juli 2014

Ketika Uang Tak Bisa Dimakan

Banyak orang-orang berbicara:
ketika pohon terakhir ditebang, ketika ikan terakhir dipancing, ketika ternak terakhir dipotong, maka ketika itu pula manusia akan sadar bahwa uang tak bisa dimakan
suatu kutipan yang mungkin akan menyadarkan orang betapa berharganya mahkluk ciptaan tuhan di dunia ini, tidak terkecuali manusia itu sendiri. Bagaimana sikap manusia terhadap alam, bagaimana sikap manusia terhadap Tuhannya, dan bagaimana sikap manusia terhadap manusia lainnya. 

aku sadar, bahwa kehidupan di dunia ini tak cuma melulu tentang bagaimana kita taat beribadah dengan tuhan, dan bagaimana sikap kita dengan menjaga alam yang telah diciptakan ini, dan sikap manusia terhadap manusia lainnya. Apakah hanya ketika kita mengenal manusia itu kita baik terhadapnya tetapi pada orang yang belum pernah kita kenal bersikap buruk kepadanya. 

Aku pernah menemui sebuah kasus yang nyata. Pada suatu ketika, ada pasangan suami istri yang sudah berumur paruh baya yang terlihat sedang kebingungan. Ketika itu aku sedang berdua berada di sebuah tempat di kota Yogyakarta, dan aku didekati oleh kedua orang itu. Mereka memulai perbincangan denganku, dan pada saat itu mereka menceritakan tentang harinya, dan bagaimana mereka bisa 'terdampar' disana. Mereka meminta tolong kepadaku, bahwa mereka tidak bisa pulang ke kediamannya yang berada di kabupaten Purworejo, padahal saat itu jam menunjukan sudah pukul 7.30 malam. Aku sempat berfikir, bahwa sudah selarut itu tidak ada angkutan umum yang melayani trayek Yogya-Purworejo selain bis antar kota antar provinsi yang melewati Purworejo, dan tentunya harga tiket yang dibayarkan lebih besar pula. Mereka meminta tolong untuk meminjamkan uang agar bisa pulang dengan membeli tiket bis AKAP tersebut sebesar 'uang rupiah berwarna biru' untuk dua orang tersebut. Aku sempat berfikir, bagaimana kalau kedua orang ini berniat untuk menipuku, dan sebaliknya aku merasa iba mendengar cerita mereka yang sudah cukup renta dan hanya berdua di kota ini. Ketika aku membuka dompetku hanya terdapat tiga lembar uang, satu lembar uang berwarna 'biru, satu berwarna 'coklat-kuning', dan satunya berwarna 'merah-ungu', Pikiran negatif itu selalu muncul, dan akhirnya aku hanya memberikan dua lembar uang selain warna biru tersebut lalu pergi meninggalkan mereka. Aku melihat raut muka yang cukup bahagia, setidaknya aku dapat meringankan beban mereka walaupun sedikit.

Mungkin sikap kebanyakan manusia terhadap manusia lainnya yang dapat dikatakan buruk dipengaruhi oleh pikiran buruk tersebut, dan tidak sedikit pula tentang pengalaman buruk yang pernah dialami oleh manusia tersebut. Tetapi ternyata tidak semua orang memiliki sifat seperti itu. Seperti yang aku alami sendiri, pada suatu ketika di suatu acara praktikum salah satu mata kuliah yang aku tempuh, terdapat acara ekskursi yang dimana acara tersebut tentang penelitian mencari sumber air dari suatu mata air yang muncul di daerah yogyakarta, tepatnya berada daerah wedomartani. Disana terdapat suatu mata air yang keluar secara alami dan ditampung pada suatu kolam, sehingga banyak yang memanfaatkannya untuk berenang dan mengairi lahan pertanian yang cukup luas disekitarnya. 

Dari acara ekskursi tersebut yang meneliti secara 2 hari berturut-turut, aku dan kelompokku mendapatkan jadwal di hari terakhir dengan waktu yang terakhir pula. Pada saat melakukan pengambilan data, aku meminjamkan kunci motorku kepada temanku, dan aku menitipkan telpon genggam milikku ke temanku yang lain. Setelah pengambilan data tersebut, aku berencana berenang di kolam penampungan yang airnya sangat jernih, tetapi akhirny hanya aku berdua saja yang pergi untuk berenang karena temanku yang lain harus mengembalikan alat-alat yang digunakan untuk mengambil data ke kontrakan asisten lab. Dua jam berlalu, aku dan temanku selesai berenang dan waktu menunjukan pukul 4, dan temanku itu langsung bergegas pulang karena akan pergi ibadah. Ketika aku mencari kunci motorku aku teringat bahwa kunci tersebut masih berada di temanku, dan telpon genggam yang aku punya ikut terbawa. Aku hanya membawa dompet yang berisi uang yang cukup untuk makan satu hari dan sepeda motor yang tidak berkunci. Aku seketika bingung, bagaimana cara untuk pulang.

Beruntung, masih terdapat orang baik di negeri ini. Atau memang hakekatnya orang sini baik semua. Aku ditanya mengapa aku berada sendirian oleh pemilik warung sekaligus penjaga umbul tersebut, sambil disuguhi makanan ringan dengan segelas teh hangat sebagai teman untuk menghalau dinginnya malam. Ketika mereka mungkin terlihat kekurangan, tetap saja dengan rela mereka memberiku dengan ikhlas, dan secara totalitas. Seperti meminjamkan handphonenya untuk menghubungi rekanku yang meninggalkanku, dan hingga menemaniku beberapa jam untuk menunggu temanku datang menjemputku.

Karena hal tersebut, aku terkesima, terbuka mataku bahwa hidup tak melulu soal uang. Mata batin yang telah tertutup oleh rakusnya kekuasaan, harta, dan mungkin wanita. Semua cara dihalalkan. Akan tetapi tidak semua orang bersifat seperti itu, kita tidak baik untuk menilai orang dari cara orang tersebut memandang kita. Karena sesungguhnya ketika uang tak lagi bisa dimakan, manusia baru akan sadar tentang kehidupan yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar